Rabu, 06 November 2019

BELAJAR AGAMA ITU MENYENANGKAN

BELAJAR AGAMA ITU MENYENANGKAN 



     
    www.sma3rembang.sch.id - Kamis ,7 November 2019 kelas XI IPA 3 sedang berada pada jam pelajaran Pendidikan Agama Islam. Pak Ahmad Faiz adalah Guru Agama Islam di SMA N 3 Rembang. Pelajaran yang diajarkan pada pagi hari ini adalah tentang ceramah ,khutbah ,dan tabligh.
    
      Tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Faiz ini adalah sebagai motivasi untuk mereka (anak-anak XI IPA 3 ) supaya mereka bisa menasihati teman-teman yang lain dan berperilaku yang baik serta berlatih berkhutbah akan meningkatkan percaya diri mereka masing-masing Bagian-bagian yang dibahas pada bab kali ini adalah tentang definisi khutbah ,ceramah ,dan tabligh. Kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah agar siswa dapat mengetahui perbedaan ceramah ,khutbah ,dan tabligh.

      Pembelajaran tadi sangatlah menarik dan suasana kelas terlihat sangat kondusif. Saya sempat bertanya kepada salah satu anak yang bernama Buana yang menuturkan bahwa pembelajaran tadi sangatlah penting ,bermanfaat ,serta menarik karena dengan metode pembelajaran seperti tadi para siswa bisa lebih terbuka untuk sharing dan berbagi pengetahuan antara satu dengan yang lain.
      
Penulis         : Faishal Abdillah Pangestu
Narasumber : Bapak Ahmad Faiz S. Pd. I
Photografer  : Faishal Abdillah Pangestu
Penyelaras    : Bapak Wawan Safaat S. Pd
Editor           : Ibu Siti Farihah M. Pd

Kunjungan Lapangan


Tulisan ini disemangati dari curhatan teman-teman  guru yang kurang semangat mengajar karena tidak memiliki fasilitas kelas yang lengkap. Entah keyakinan apa yang telah menghantui mereka, karena mereka meyakini, fasilitas ruang kelas yang tidak lengkap dengan perabot elektronik, tidak bakalan mencetak siswa yang berprestasi. Bagi Penulis, keyakinan tersebut adalah preseden buruk yang menghantui lompatan hasil belajar sekolah yang minim fasilitas. Berangkat dari hal di atas, tulisan ini muncul.
Ada dua hal yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, hal-hal yang mendorong terbentuknya konstruksi sosial bahwa sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang berlimpah bergedung dan fasiltias kelas serta laboratorium yang mewah. Kedua, alternatif model pembelajaran bagi sekolah yang terbatas akan sarana dan prasarana.  Bagian pertama, mengulas tentang politik akreditasi dan guru yang malas. Bagian kedua, mengulas tentang model kunjungan lapangan sebagai alternatif untuk mendorong sekolah-sekolah yang terbatas fasilitas ruang kelas dan media pembelajarannya, dapat memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi masyarakat nantinya.
Politik Akreditasi
Adanya kecenderungan, komponen standar yang difokuskan untuk mendongkrak akreditasi sekolah adalah komponen yang bermuara pada standar sarana dan prasarana. Komponen standar ini biasanya didukung oleh komponen standar pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Adapun standar yang lain cenderung dinomor duakan. Hal inilah yang menjadi trending, mungkin saja terdapat relasi antara pihak sekolah dengan lembaga yang lain, yang cenderung mengutamakan proyek-proyek hibah berbasis pengadaan gedung dan alat. Dari sinilah, perlombaan membangun gedung dan pengadaan alat yang tidak setara menjadi tren kebijakan sekolah untuk meraih angka akreditasi sempurna.
Pola hubungan antara politik akreditasi dengan sekolah saat ini, cenderung tidak mendukung sekolah yang mash bersahaja, tidak akan maju dalam layanan pendidikan untuk masyarakat. Lebih tragis lagi ketika pemerintah lebih memihak kepada sekolah-sekolah yang dipandang lebih maju, lebih banyak diberikan dana hibah dengan banyak menggelontorkan dana untuk pembangunan sekolah. Jika demikian, maka jelas terjadi ketidakadilan sosial dalam mendapatkan layanan pendidikan. Politik akreditasi harus segera di ubah.
Guru yang malas
Walalupun demikian rendahnya layanan pendidikan tidak semata-mata karena politik akreditasi saja. Hal yang perlu diperhatikan adalah keberadaan guru yang malas. Guru malas yang dimaksud adalah guru yang hanya bergantung pada kehadiran fasilitas sekolah mewah. Jika sebuah sekolah yang terbatas dengan buku belajar, laboratorium sekolah, dan kelangkaan alat-alat media pembelajaran, maka ketika sekolah memiliki guru malas, jelas layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa sangatlah menghawatirkan. Guru malas acapkali beralasan, rendahnya lompatan prestasi belajar siswa, karena sekolah yang bersangkutan minim fasilitas. Jika demikian, lagi-lagi sekolah minim fasilitas, tidak lebih maju dalam layanan pendidikan untuk masyarakat.
Kunjungan Lapangan
Lantas bagaimana strategi sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas pembelajaran? Menurut Penulis ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jangan prioritaskan sumber dana sekolah untuk membangun gedung dan perabot pembelajaran sekolah. Sekolah janganlah mengikuti permaian sekolah mewah. Jangan bangun gedung, jangan belanja ac, jangan adakan gebyar kegiatan yang mewah. Fokuskan dana yang ada untuk kegiatan belajar yang berkualitas dengan mendatangkan guru tamu dan mengunjungi sumber belajar di luar ruang kelas.
Ingat, sekolah yang mewah jelas berkonsekwensi terhadap tingginya tagihan beban perawatan gedung dan perlengkapannya. Jika tagihan beban semakin tinggi, maka negara harus mensubsidi tinggi. Dan lagi-lagi, orang tua harus membayar sumbangan tinggi. Jika demikian maka sekolah mewah sebenarnya adalah sekolah yang kritis karena harus memikul beban yang tinggi diluar beban proses pembelajaran inti. Dimasa yang akan datang, sekolah mewah akan segera tutup sebelum gurunya pensiun mengajar.
Sekolah yang sederhana sudah saatnya mengembangkan formula tentang bagaimana menggunakan anggaran sekolah yang terbatas, namun memberi layanan pendidikan di atas ambang batas. Mendatangkan guru tamu yang ahli di bidangnya, dan mengunjungi sumber belajar di luar ruang kelas yang ada, adalah tantangan bersama.
Sekolah mewah dan sekolah yang bersahaja, memiliki kesempatan yang sama. Bahkan sekolah yang bersahaja, akan mendapatkan empati para ahli untuk datang mengabdi di sekolah tersebut. Tentu guru tamu juga lebih menaruh empati, karena kebersahajaan sekolah tersebut. Bukan semata-mata bayaran tinggi, tetapi empati terhadap kebersahajaannya yang sangat berarti.
Selain fokus penggunaan dana untuk guru tamu, dana sekolah harus difokuskan untuk proses mengunjungi sumber belajar di luar ruang kelas yang ada. Strategi mengunjungi sumber belajar adalah strategi sepadan, baik untuk sekolah mewah dan sekolah yang bersahaja. Guru dan siswa harus keluar dari ruang kelas. Datangi sumber belajar terdekat yang kiranya siswa mampu mencapai kompetensi inti dan kompetensi dasar yang distandarkan. Contoh hal, mata pelajaran Sosiologi kelas XI tepatnya materi tentang masyarakat multikultural yang kompetensi dasarnya adalah “Memahami penerapan prinsip-prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat”, guru dan siswa dapat mengunjungi tempat suci Vihara, tempat suci Masjid, tempat suci Gereja, tempat suci Klenteng, dan tempat suci yang lainnya. Dengan menerapkan pembelajaran dengan model kunjungan lapangan ini, jelas akan terjadi kompetisi yang sepadan antara sekolah mewah dan sekolah yang bersahaja. Dengan demikian, maka sekolah-sekolah yang bersahaja akan mampu meberikan layanan pendidikan yang memuaskan hingga mencapai lompatan kualitas pembelajaran yang membanggakan.
Semoga tulisan ini memberi semangat kepada teman-teman guru yang sekolahnya sangat terbatas akan keberadaan gedung dan ragam media pembelajannya. Model pembelajaran kunjungan lapangan ini adalah salah satu alternatif untuk penguatan bahwa siapapun gurunya, dimanapun mengajarnya, guru harus kreatif dalam mensikapi keadaan dan kenyataan. Murid dan orang tua pasti akan selalu mendukung program-program pembelajaran sekolah yang kreatif. Dan sebaliknya, siswa dan orang tua lambat laun akan meninggalkan sekolah yang banyak beban biaya dan malas gurunya.
Sumber: 

Rumput Udara dan Bocah Angon


Dalam benak saya, kenapa hingga sekarang tidak ada rumput udara. Padahal rumput tanah dan rumput air sudah kita kenal sejak lama. Padahal ketiga ruang itu, udara-air-udara, benar-benar ada kenyataannya. Apakah ketiadaan rumput udara benar-benar tidak ada? Atau karena kelemahan pengetahuan manusia dalam mengamati keberadaan-nya? Atau memang benar-benar tidak ada karena memang tidak diramalkan kehadirannya di jagat raya? Atau karena kegagalan evolusi rumput yang rapuh dalam melawan hukum alam, gagal beradaptasi, atau buntunya rekayasa ilmu pengetahuan, sehingga rumput tidak mampu hidup di udara? 

Dahulu, rumput sangat dekat dengan ternak. Namun sekarang, rumput hanya tumbuh di lahan para tuan tanah yang tidak dapat dijamah oleh ternak dan bocah angon. Rumput telah menjelma menjadi privat proverty, bukan lagi common porverty. Para peternak kecil semakin bingung, dan lebih bingung karena rumput yang hanya bisa tumbuh di tanah terancam menjadi komoditas musiman yang tidak tentu. Ruang tumbuh rumput semakin dihimpit oleh bangunan rumah. Pematang sawah semakin kecil dan tidak lagi menjadi ruang endemik bagi rumput karena populasi semakin meledak, namun disisi lain persawahan semakin diburu investor untuk mendirikan pabrik. Mereka memburu sawah, karena lokasi sawah yang strategis. Akses jalan terbuka sekaligus terhubung dengan kantong pemukiman dan fasilitas umum. Sungguh suatu rekayasa nilai luhur masyarakat agraris yang agung, namun sayang kita tidak mampu menginterpretasi suatu warisan agraris itu. Terlebih sawah sekarang seakan tidak henti sebagai tempat perkembangbiakan komoditi pasar. Jikapun ada rumput di sana, pakanan yang digemari ternak ini harus siap-siap disemprot  dengan gulmatida.

 Bocah angon jumlahnya semakin menyusut seperti keberhasilan obat pelangsing dengan pengikut setia kaum urban. Bocah tidak lagi mengenal rumput teki, apalagi rumput tuton dan rumput laron atau entah apa namanya. Mereka lebih berorientasi menjadi penjual pulsa, jasa penagih, hingga pegawai negeri. Orientasi menjadi bocah angon telah punah seiring dengan hilangnya spesies hewan purba. Padahal bocah angon adalah relasi kuat sebagai pelestari lingkungan yang teruji beredaan dan fungsinya. Sebuah cara pandang yang telah menjadi kenangan terindah, namun sayangnya sedikit bahkan tak satupun yang mengingatnya. Jika bocah angon masih ada, itupun tergolong lansia. Mereka sengaja dipensiunkan, mereka dipaksa untuk tidak membuat cetakan baru, sebut saja generasi baru bocah angon. Ruang gerak dan kreatifitas mereka terpaksa berhenti. Keputusan itu sungguh rasional karena menggembala ternak sama saja berhadap-hadapan dengan penjara. Terlebih sekarang, semua gunung nyaris dibongkar isinya dan materialnya. Rumput hijau di gunung hanya tersisa dalam bentuk langgam bocah angon saja. Menggembala ternah telah menjadi pekerjaan beresiko. Sungguh suatu ramalan yang jarang diperdengarkan para penutur sebelumnya. 

Apakah kita tidak pernah sadar dengan pembelajaran akan filsafat rumput yang telah bersemanya sejak dahulu kala? Rumput adalah ikon ekonomi kerakyatan. Rembesan kesejahteraan untuk bocah angon tidak lagi terasa. Jika dahulu bocah angon mampu membangun rumah, membeli sawah, sangu untuk luru ilmu, karena dari upah angon berupa ternak. Namun sekarang tidak berlaku. Gaya hidup masyarakat peternak agraris semakin hilang pengikutnya. Mereka tidak lagi mampu mengembangbiakkanternaknya, karena rumput semakin langka dari kehidupan nyata bahkan telah menceraikan diri dari indahnya mimpi-mimpi malamnya. 

Ideologi rumput tidak lagi menjadi inspirasi cara pandang alternatif dalam mewujudkan masyarakat yang makmur gemah ripah lohjinawe. Ideologi rumput tidak lagi menjadi alternatif dalam membebaskan diri akan kemiskinan dan ketidakberdayaan sosial. Tumbuh dimana saja, liar, bebas, dan bermanfaat untuk ternak, tidak lagi menjadi aliran pikir saat ini dan dikemudian. Kelangkaan rumput semakin mendera hingga ke relung-relung yang dahulu tak terjamah oleh firasat.  Ritus hidup semakin jauh dari berbaikan gizi sosial karena gizi masyarakat adalah tanggung jawab para pejabat yang kemudian suka bohong walau selalu mengumbar omong. Jika dahulu, saat kenduri ritus kelahiran, sunatan, kawinan, hingga kematian, selalu menebar suguhan menu gizi yang menantang, namun sekarang tidak. Bagaimana mau potong kambing, sapi, atau bahkan kerbau? Karena petani sekarang sudah tidak lagi mengembangbiakkan ternak-ternak di atas. Kedaulatan gizi sosial semakin langka seiring hengkangnya rumpat di pematang, di sudut-sudut makam umum, dibantaran sungai, hingga di altar pegunungan. Sebuah pagelaran filsafat rumput besar-besar telah runtuh dalam kehidupan sosial. 

Kepekaan kita dalam menjaga kelestarian rumput dapat dilihat ketiadaan undang-undang tentang rumput. Para penikmat jabatan di teras wakil rakyat dan penguasa, tidak lagi tertarik dengan rumput. Jika ada, hanya sebatas proyek rumput di altar serta taman-taman yang penuh dengan kebohongan. Rumput bagi mereka hanya sebagai komoditi seni, bukan lagi menjadi komoditi ekonomi kerakyatan. Gagasan untukmelahirkan tanah tidur pada tanah bengkok di perdesaan sungguh mimpi di siang bolong. Sangat tidak mungkin tanah bengkok ditidurkan, kemudian tumbuh rerumputan yang siap dipanen peternak dan bocah angon. Sangat tidak mungkin tanah bengkok menjadi tempat ngarit apalagi zona untuk penggembala.  Karena tanah bengkok telah dibarter dengan suap ketika suksesi pengangkatan perangkat desa. Mimpi hadirnya rumput udara adalah obat mujarat sekaligus hadir dalam nuansa yang mustajab, ketika rumput hanya menjadi pemilik klub sepakbola dan hotel berbintang. 

Suatu saat bocah angon akan memimpikan bahwa rumput yang habibatnya di udara benar-benar ada. Bocah angon akan berdaulat hidupnya. Diatas rumah kayu dan genting daun aren, di atas rumahnya tumbuh rumput yang melawan arus hukum alam sebelumnya. Mereka (bocah angon) dapat mengembangbiakkan ternaknya dengan beranak pinak untuk mencukupi gizi buruknya, untuk biaya luru ilmu, hingga mampu berhijrah dari bocah menjadi manusia sebenarnya. Bocah angon tidak lagi memikirkan panasnya terik matahari. Bocah angon tidak lagi memikirkan sengatan radiasi yang mengancam genetik nilai-nilai luhurnya. Dan pada saat itulah, bocah angon benar-benar menjadi memayu hayuning bawono.

Sumber: https://www.kompasiana.com/es_lodheng/5528cdcb6ea83495588b45bc/rumput-udara-filsafat-rumput-dan-bocah-angon

Ekstrakulikuler Setir Pesawat Terbang

Lalu lintas udara semakin kedepan, diramalkan semakin ramai. Padat penuh dengan alat transportasi. Tak lain alat transportasi itu adalah pesawat terbang pribadi. Ini merupakan fenomena transportasi pendatang kedua setelah fenomena transportasi data elektronik pada saat ini. Mengapa demikian? Bagaimana kemudian dalam menyikapi hal tersebut? Serta apa saja masalah yang akan muncul? Tulisan ini sedikit ingin membahas lebih awal akan munculnya fenomena setiap orang akan memiliki pesawat pribadi. Kepemilikan pesawat pribadi di tiap-tiap keluarga, akan mendorong sekolah untuk menggelar ekstrakulikuler stir (mengawaki) pesawat terbang pribadi. Fenomena masa depan ini relatif sama, ketika banyak mobil pribadi, sekolah-sekolah kemudian diminta untuk membuka program ekstrakulikuler stir mobil.
Pesawat terbang pribadi akan marak. Dengan pelipatgandaan kemajuan teknologi teknologi pesawat terbang, pesawat tak lagi perlu landasan selebar dan sepanjang seperti saat ini untuk take off. Landasan pacu dimasa depan adalah selebar parkir mobil, bahkan landasannya cukup selebar jemuran pakian.
Lahirnya generasi baru pesawat terbang ini dimungkinkan, seiring keinginan masyarakat untuk mengirim beragam barang secepat laju data stalelit. Pesawat akan menjadi kebutuhan paling utama seperti halnya sepeda motor dan hanphone pada saat ini. Saling tergantung dan terbatas, serta spesialisiasi profesi orang yang semakin sempit, juga mendorong kebutuhan ketersediaan pesawat terbang pribadi ini.
Banyaknya industri perakitan pesawat yang berlimpah, tiap-tiap orang yang akan memiliki pesawat. Industri pesawat akan memberi kemudahan dengan program kredit pesawat. Seperti halnya kredit sepeda motor, cukup membawa KTP, sudah dapat membawa pesawat pribadi baru dari dealer pesawat terbang. Pada saat itulah terjadi kemudahan dalam memiliki pesawat.
Jika itu terjadi, bagaimana masyarakat menyikapi hal tersebut, tentu cenderung bersentuhan dengan bagaimana lalu lintas udara yang super padat itu, awak pesawat harus selamat. Dengan keberlimpahan pesawat pribadi, tentu awak pesawat akan butuh keterampilan mengawaki pesawat. Untuk memiliki keterampilan mengawaki pesawat dengan selamat, maka kebutuhan mendasar adalah kursus stir (mengawaki) pesawat terbang.
Beberapa kelompok pendukung maraknya pesawat terbang pribadi ini adalah menjamurnya bengkel pesawat terbang. Pasar lowak pesawat terbang juga akan marak bak pakaian bekas yang ditentang dipinggiran jalan layaknya pedagang kaki lima pesawat terbang. Lembaga pendidikan pencetak montir-montir pesawat terbang semakin menjadi pilihan anak-anak dalam melanjutkan studi. Beragam transaksi barang juga marak menggunakan jasa peswat terbang. Para penjual dan pembeli tak lagi bertemu di pasar-pasar tradisional, yang ada adalah pasar koordinat berapa. Mereka hanya mengirim koordinat berapa yang dijadikan tempat transaksi. Masyarakat tak butuh lagi membangun jalan beraspal dan berbeton, karena sumber daya alam dan energi terbarukan telah lepuh menyatu dengan udara karena eksplorasi besar-besar di masa yang telah silam.
Jumlah pesawat yang begitu lewah, dimungkin terjadi kelonggaran terhadap siapa yang memiliki peran melatih mengawaki pesawat terbang. Pada saat itulah muncul kelompok-kelompok kreatif stir pesawat. Tak ketinggalan, sekolah-sekolah juga akan membuka ekstrakulikuler stir pesawat terbang untuk memantik para siswa yang semakin sepi mendaftar karena masyarakat telah menjadi pemilik ilmu pengetahuan dan keberteknologian.
Ketika mobilitas barang dan sosial tak lagi terkendali, masalah yang mungkin muncul adalah munculnya isu membela hak asasi udara. Seperti halnya gunung, hutan, dan air. Ruang udara juga akan menjadi tematik menarik dibela haknya. Ruang udara akan diperumpamakan sebagai ruang suci, mulia, perempuan, dan harus di jaga ketenangannya. Banyak tafsir yang direproduksi dari teks suci, rasionalitas, hingga kearifan lokal, untuk membela ruang udara.
Komisi perlindungan udara, pelestari udara, dan seni udara, akan marak muncul untuk berekspresi. Karena ruang udara adalah sumber kehidupan alam semesta ini.

Membaca Pembangkang Jawa


Ada enam karya seni rupa dari empat puluh tujuh karya yang terpamerkan di Museum Kartini Rembang saat itu (14-17/04) yang membuat saya jatuh cinta. Enam karya seni itu adalah karya milik Ima Novilasari dengan tema “Kebangkitan Pembangkang Jawa (feodalisme)”, karya milik Muchadi dengan tema “7 Bidadari Dari Negeri Seberang”, karya Diani Fauziyah dengan tema “Tak Lemah Lembut”, lagi karya hasil Ima Novilasari dengan tema “Keadilan Kodrati (Emansipasi)”, karya milik Iwan Roses dengan tema “Hawa”, dan satu lagi karya miliki “Kokoh Nugroho” dengan tema “Ini Ibu Budi”. Dengan kuncup tangan ini, tulisan kali ini terinspirasi dari karya tapestri mbak Ima Novilasari, tepatnya karya seni tekstil rajutan yang elok, yang bertera “Kebangkitan Pembangkang Jawa”.
Perempuan Melawan
Perempuan itu lebih besar dari pada peradaban yang dihasilkan pada setiap zamannya. Barangkali itulah kesan dari seni tapestri mbak Ima Novilasari. Dalam karya tapestrinya, gagasan perempuan mampu mengangkangi semua hasil kebudayaan laki-laki. Representasi dari hal tersebut dapat dilihat dari simbol perempuan diposisikan lebih tinggi dari mercusuar suatu hasil perdaban. Tampak dalam lukisannya, perempuan yang gesit berdiri di atas bangunan menara. Taman kehidupan dan gunung kemakmuran juga tampak lebih rendah dari perempuan itu sendiri.
Perempuan dalam tapestri “Kebangkitan Pembangkang Jawa” dengan gamblang memberi altar kehidupan yang cerah. Sejauh mata memandang dan sekuat gerakan tangannya, telah memberi sinar kehidupan yang penuh dengan harapan di masa depan. Kontras dibalik itu, cahaya hitam semakin kental, sejalan dengan sejauh mata memandang dan lemahnya sentuhan tangan sang perempuan. Cahaya kehidupan itu benar-benar ada. Perempuan dalam tapestri Ima menjadi representasi kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkakas dan kehidupan menjadi jelas, tidak lagi suram.
Namun dibalik itu, sang pembangkang digambarkan dalam posisi terancam. Memang posisi perempuan (dalam karya tapestrinya) digambarkan telah mampu menampaki hierarki puncak. Tetapi dibalik puncak kuasa tersebut, perempuan terancam hanyut dengan terpaan badai yang tidak dianggap bencana oleh zaman. Perempuan yang dilukis dalam rajutan tanpa kaki terlihat. Padahal, kaki ibarat kuda, yaitu kekuatan dalam hidup, dan ukuran seberapa kuat dalam zamannya.
Merah dalam busana bawahannya, adalah tanda sekaligus penanda dari marabahaya. Perempuan harus selalu hati-hati, walaupun yang dilahirkan adalah laki-laki. Mereka yang dilahirkan tidak selalu menjadi jaminan. Karena yang terlahir cenderung acuh dengan perempuan itu sendiri. Lihat saja kedua burung yang dilukiskan, tidak satupun memandang kebesaran sang perempuan. Namun perempuan juga tidak peduli dengan generasi yang dilahirkan. Perempuan tetap memandang ke atas, menjadi pusaran keadilan antara kehidupan sosial dan kehidupan di-akhir nanti (lihat karya tapestri Ima yang kedua, dengan tema “Keadilan Kodrati”, dalam katalog Femalektika, 2016).  Bawahan busana merah, dan rajutan atasan emas dengan bingkai pohon hayat yang ranum, telah menenangkan sang pembangkan dalam gerakannya. Seakan, dalam karyanya, Ima ingin menyampaikan, bahwa pada dasarnya perempuan adalah penguasa yang tidak ingin dikuasai oleh zamannya. Perempuan telah memiliki segalanya. Keberanian, siasat, keindahan, keseimbangan, ruang, waktu, cahaya, dan semua hasil peradaban yang ada.
Kagum sekaligus ketakutan
Ilustrasi: Buku Katalog Pameran Seni Lukis, Femaletika, 2016
Ilustrasi: Buku Katalog Pameran Seni Lukis, Femaletika, 2016
Dalam narasi yang dihantarkan Ima Novilasari cuckup jelas, bahwa pelukis terkagum-kagum dengan sosok Pembangkang Jawa.  Sosok Pembangkang ini apakah benar-benar orang Jawa, atau yang dimaksud adalah Raden Ajeng Kartini, atau pelukis memiliki sosok lain? Dalam narasi jelas bahwa ada petikan “perlawanan Kartini...” Begitupun dengan simbol yang dihantarkan dalam seni tapestrinya.
Tampak perempuan bersanggul, gunungan, dan harmoni alam, merupakan simbol perempuan khas Jawa. Namun perlu diingat, karya seni tapestri Ima dengan tegas memposisikan perempuan di atas mercusuar. Jika ditilik dari kajian perempuan Jawa, sangat langka ditemukan siasat perempuan yang vulgar. Walaupun perempuan lebih berkuasa dalam kehidupan, perempuan cenderung memposisikan dibelakang. Posisi perempuan dalam karyanya adalah representasi dari keprihatikan Ima Novilasari terhadap perilaku kita (perempuan) dalam memaknai dan memfungsikan perjuangan sang Pembangkang. 
Dalam karya tapestrinya ada interaksi antara Pelukis dengan Sang Pembangkang, yaitu tentang kekaguman sekaligus ketakutan dalam menanen perjuangan sang Pahlawan Nasional, Raden Ajeng Kartini.
Pelukis jujur bahwa Ia belum mampu menandingi Kartini. Mulai dari kehidupannya yang mampu tegar dalam nuansa patrialkhal, mulai dari gagasannya yang sepi dari arah matrilineal, hingga dimulainya yang membangkang dari arus politik feodal, adalah bukti bahwa kekaguman terhadap Raden Ajeng Kartini itu sangat tampak. Bagaimana dengan perempuan sekarang? Apakah banyak dari teman (perempuan) pelukis juga merasa kagum?
Disisi kegaguman, pelukis juga mengekspresikan ketakutan dalam seni tapestrinya. Perempuan di atas singgasana tanpa landasan pacu kuasa. Ketakutan yang dimaksud pelukis bukanlah takut menjadi Kartini, namun takut menjadi perempuan penikmat perjuangan Kartini.
Hari ini perempuan Indonesia, bahkan dunia, dalam masa keemasan dalam memanen arus Kartinian. Perempuan meraih hak belajar,  perempuan meraih hak bekerja, perempuan meraih hak sejahtera, perempuan meraih hak berkuasa, perempuan meraih hak kesehatan, dan perempuan meraih hak kebebasan, merupakan pengaruh meanstrim kartinian yang sungguh besar. Namun Ima Novilasari juga tidak menutup mata bahwa ada masalah dalam menggunakan turunan fungsi sang Pembangkang Jawa ini.
Kegelisahan tersebut dapat dibaca pada narasinya, yaitu perempuan cenderung membangkang terhadap asal usulnya, perempuan cenderung membangkang terhadap bahasanya, dan perempuan cenderung membangkang terhadap sikap tidak hormat terhadap tetuanya. Terlebih kasus-kasus seperti halnya PRT dan potret perbudakan masa kini, PSK dan kontekstualisasi poligami, free seks dan korban hamil di luar nikah, teknologi pembangkit pernikahan dini, pemerkosaan, hingga citra kecantikan dan eksploitasi perempuan, tidak sulit untuk ditemui. Lantas bagaimana dalam menyikapi kebangkitan Pembangkang Jawa ini? Kapan membangkan dan apa yang perlu dibangkang? Teriring salam hormat, kunanti jawaban karya dari mbak Ima Novilasari berikutnya.
Rembang, 11 Mei 2016

Menilik Modal Sosial Masyarakat Nelayan


Bermimpi menyulap kawasan pesisir menjadi desa wisata, sebut saja wisata bahari[i], mau tidak mau kita harus menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan yang ada. Apapun yang tertemukan dalam tilikan ikatan solitaritas nanti, kita harus memandang arif untuk difungsikan dalam mendukung rencana program wisata. Etika ini penting untuk dimiliki para agen yang sedang memperjuangkan desa nelayannya menjadi desa wisata bahari.
Jika dalam sebuah tilikan, ikatan solidaritas yang tertemukan adalah ikatan solidaritas tradisi, maka daya dan energi itu harus digunakan untuk mendorong terwujudnya program yang ada. Begitupun, jika dalam kajian, ikatan solidaritas yang ada cenderung berlimpah ikatan solidaritas berbasis profit, pun juga dapat digunakan untuk modal sosial[ii] dalam mewujudkan desa wisata bahari yang diimpikannya.
Sikap yang arif di atas menjadi penting dihadirkan. Mengapa demikian? Karena dalam merencanakan sebuah perubahan sosial, prinsipnya adalah ketika proses berjalan harus memuliakan masyarakatnya. Membenci hingga menghilangkan anggota masyarakat pada saat memperjuangkan desa wisata bahari, adalah awal kegagalan dari program desa wisata bahari. Konflik horizontal secara berkepanjangan sama saja membuang kesempatan dan tidak menghargai potensi sosial. Semua musti dirangkul, semua musti dimuliakan, karena merekalah yang selama ini menjadi penjaga dan pelestari kebaharian.
Setelah urusan etika di atas sudah selesai, selanjutnya adalah mengkaji dengan jeli tentang dinamika sosial pada masyarakat nelayan, yaitu mengkaji ikatan solidaritas masyarakat nelayan. Inilah inti dari tulisan ini, yaitu menilik ikatan solidaritas masyarakat nelayan untuk digunakan modal sosial menuju kawasan wisata bahari yang berkelanjutan.
Mengkaji rencana perubahan sosial, dalam sosiologi acapkali kali tak lepas dari perspektif Durkheim tentang ikatan solidaritas. Dalam pemahaman terbatas, Durkheim mendedahkan bahwa ikatan solidaritas  adalah kesadaran kolektif yang menggerakkan akan semua tindakan social. Durkheim membagi ikatan solidaritas dalam dua alur. Pertama, alur solidaritas mekanik[iii]. Dan alur kedua adalah solidaritas organik[iv].
Alur solidaritas mekanik biasanya dipahami sebagai ikatan kesadaran kultural. Yang menggerakkan kesadaran dalam membangun ikatan sosial ini adalah sistem tradisi. Biasanya, perilaku sosial yang dijalankan pada solidaritas mekanik ini adalah perilaku sosial berbasis nilai (value). Contoh dalam masyarakat nelayan adalah melangsungkan tradisi sedekah laut. Mereka melakukan tindakan sosial sedekah laut, biasanya dilandasi dengan kesadaran kultural, bahkan terkadang dibalut dengan keyakinan.  
Selanjutnya alur yang kedua adalah alur solidaritas organik. Untuk mengidentifikasi alur kali kedua ala Durkheim ini dapat dilihat dengan mengidentifikasi fenomena “Nyumbang[v]” saat hajatan di masyarakat nelayan. Seperti halnya pada tradisi sedekah laut[vi] dan gotong royong, bahwa tradisi “Nyumbang” pun berjalan atas dasar kesadaran. Hanya saja perilaku resiprosikal ini cenderung kuat dilandasi orientasi keuntungan.
Sedekah Laut dan Membangunkan Rumah Runtuh
Penjelasan logis terhadap perilaku solidaritas sedekah laut adalah adanya keterbatasan kemampuan para nelayan untuk menghalau petaka di laut. Sebuah petaka yang melampaui kekuatan manusia. Untuk itu, perlu adanya penguatan psikis terhadap bagaimana alam batin mereka tidak terbebani oleh petaka tersebut. 
Sebaliknya, bagi yang tidak berpartisipasi dalam tradisi sedekah laut, mereka cenderung bergundah rasa. Batin sekaan dirundung petaka setiap saat yang siap meluluh-lantakkan kapal dan pukatnya. Sehingga wajar, jika dalam perayaan sedekah laut, cukup mudah melakukan penggalangan dana, cukup mudah pelaksanaannya, karena semua sumber daya yang ada telah terkonstruksi dengan ikatan solidaritas jauh-jauh hari sebelumnya.
Begitupun dalam hal keseharian masyarakat nelayan. Panorama bergotong royong dalam mendorong kapalnya ke bibir laut, tindakan saling membantu saat kapalnya tersangkut batu karang, hingga rasa saling menjaga barisan kapal saat ombak besar melanda, itu semua adalah bukti nyata dari pancaran ikatan mekanik masyarakat nelayan.
Hal menarik juga dapat disaksikan ketika para nelayan berlimpah hasil tangkapannya, masyarakat nelayan dengan mudah bergotong royong dalam membantu prosesnya. Nelayan yang berlimpah hasil tangkapan laut, dengan mudah berbagi hasilnya. Mereka seakan tidak memandang penting akan harga dari jerih payah menangkap ikan di laut. Mengapa demikian? Perilaku tersebut berlangsung karena kesadaran kolektif[vii], bahwa usaha menangkap ikan dilaut bukan semata-mata memiliki kapal dan pukat saja. Melaut bagi mereka adalah buah kesadaran akan keselamatan dari petaka. Keselamatan melaut adalah kemurahan Sang Pencipta. Adapun limpahan tangkapan ikan adalah wujud cintaNya kepada hambanya.
Jika menilik pola pemukiman (dahulu) di kawasan nelayan, mereka tidak mengenal politik mercusuar. Filosifi hidup mereka adalah mengalir seperti air. Semua yang ada harus di bawah pusaran air. Siapapun dan apapun yang di atasnya, akan hanyut terbawa karena air sangat benci dengan kesombongan mercusuar yang dibangunnya. Filosofi hidup ini terbangun karena pengalaman hidup mereka yang acapkali rumahnya disapu oleh ombak laut di bibir sana. Filosofi hidup ini juga terbangun dari seringnya kapal-kapal mereka disandarkan di bibir pantai, esoknya lenyap begitu saja. Dalam dokumen-dokumen klasik, rumah-rumah di pemukiman[viii] nelayan tidak mengenal prinsip  menara. Bahan dan berkakas yang digunakan adalah ramah lingkungan. 
Namun pola yang demikian, perlahan berubah. Bahan dan perkakas rumah nelayan sudah bertembok, berbesi, dan bertembaga. Walaupun demikian, ekspresi gotong royong dalam membangun rumah masih dapat dilihat juga. Di pemukiman nelayan Jawa Tengah bagian timur, contohnya. Setiap ada rumah yang terkenakan abrasi, seketika itu juga semua nelayan saling bergotong royong dalam membangunnya.
Dari ulasan singkat di atas, tampak keseharian nelayan cenderung masih terbangun pola solidaritas, tepatnya solidaritas mekanik. Perilaku mereka adalah kesadaran kolektif atau kesadaran bersama dalam membangun konformitas sosial yang ada. Lantas bagaimana memfungsikan ekspresi ikatan solidaritas ini dalam sebuah program perencanaan wisata bahari? Sebelum menghubungkan hal tersebut, mari kita tilik alur solidaritas yang kedua, yaitu ikatan solidaritas organiknya. Apakah solidaritas organik ada? Jika ada, apa bentuknya dan bagaimana dinamikanya? Lantas bagaimana pula menerapkan ikatan solidaritas organik dalam sebuah program perencanaan wisata bahari yang ada?
“Nyumbang” dan Hajatan Keuntungan
Selanjutnya adalah alur solidaritas organik pada masyarakat nelayan. Fenomena menarik yang masih dapat dilihat pada saat ini ada tradisi “Nyumbang” saat hajatan pernikahan pada masyarakat nelayan. Pada saat menggelar hajatan pernikahan, masyarakat nelayan acapkali menggunakan momen ini untuk mengumpulkan sumbangan yang dahulu diberikan kepada kerabat  dan tetangga dekatnya. Setiap hajatan pernikahan di gelar, begitupun dengan hajatan kelahiran dan sunatan, banyak handai-taulan berkumpul bersama. Sekaan wajib hukumnya, pranata resiprositas ini, berlangsung.
Tradisi  “nyumbang” pada masyarakat nelayan adalah bukti nyata masih berlangsungnya membagi beban dan biaya dengan keluarga dan tetangga dekatnya saat hajatan. Untuk melangsungkan hajatan, pemilik hajat tak perlu pusing  tujuh keliling. Berbekal pekabaran hajatan dari rumah ke rumah, dan dengan modal uang seadanya, hajatan dapat berlangsung cukup  meriah. Strategi melangsungkan hajatan besar ini dilakukan sebagai wujud adanya kesadaran bersama untuk saling menanggung  dana dan beragam bahan sembako hingga rokok yang diperlukannya.
Dalam mempersiapkan kenduri dan selametan pernikahan, para saudara dan tetangga dekatnya dikasih tahu terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan akan menikahkan anaknya. Tindakan ini juga menjadi pengingat kepada keluarga dan tetangga dekatnya, bahwa yang bersangkutan dulunya pernah memberi sumbangan saat keluarga dan tetangganya melangsungkan hajatan pula. Pada saat itulah, keluarga dekat dan jauhnya, merespon dengan cepat dan sigap atas kesediaannya dalam membalas sumbangan ini dan itu. Biasanya ada yang bersedia menanggung biaya rias pengantin, biaya beras, biaya sound sistem, biaya hiburan orgen, hingga biaya rokok. Tentu kesanggupan ini sesuai dengan sumbangan dari yang bersangkutan pada saat  itu.
Terasa ringan, ketika hajatan pernikahan dilangsungkan dengan pembagian beban biaya. Inilah wujud dari fenomena shared poverty[ix]atau saling merasakan kemiskinan. Walalupun “Nyumbang” ini bernuansa meraup keuntungan, namun ketika ditilik secara mendalam, tradisi “nyumbang” ini terbangun atas ikatan solidaritas. Tanpa adanya ikatan solidaritas, tentu saja masyarakat nelayan akan berat setiap melangsungkan hajatan pernikahan. “Nyumbang” telah  menjadi ekspresi kuat dan ringannya ikatan solidaritas organik. Mengapa? Karena fenomena “Nyumbang” memiliki orientasi keuntungan, namun terlaksana atas dasar kesadaran bersama.  
Modal Sosial dan Rekayasa Wisata Bahari
Ulasan tradisi sedekah laut dan  gotong royong mendirikan rumah nelayan di atas, adalah bukti bahwa masyarakat nelayan memiliki modal sosial yang cukup. Tradisi sedekah laut dan gotong royong mendirikan rumah nelayan, telah melahirkan kesadaran bersama dalam hal menatab petaka laut yang setiap saat mendera. Lantas bagaimana menggunakan modal sosial dalam bentuk kesadaran sosial untuk difungsikan dalam mendorong terwujudnya wisata bahari?
Tradisi sedekah laut dan membangun rumah secara gotong-royong sebagai wujud ekspresi ikatan solidaritas mekanik ini, sudah saat nya tidak hanya digunakan semata-mata untuk membangun kesadaran bersama atas petaka sosial yang akan muncul di masa yang akan datang. Bagaimana dan mulai dari mana menggunakan modal sosial tersebut? Kesadaran bersama ini sudah saatnya digunakan untuk pintu masuk dalam membangun konstruksi sosial bahwa laut itu selain sumber rejeki, juga rentan dengan bencana. Setali tiga uang, modal sosial ini dapat diperluas fungsinya untuk membangun kesadaran kolektif bahwa sumber harmoni masyarakat nelayan tidak hanya dengan melaut saja. Pesona laut juga menjadi penting dijadikan instrumen dalam mewujudkan harmoni nan sejahtera.
Apakah itu pesona laut? Ruang lingkup pesona laut adalah potensi seni tradisi nelayan  dan pantai laut. Potensi seni tradisi nelayan adalah pentas sedekah laut. Potensi pantai laut adalah segala apa yang ada di pantai, mulai dari pasir, ombak, suasana, perahu, aktivitas nelayan, kuliner ikan, cahaya, angin, hingga emosi yang terbangun di laut. Hal tersebut adalah potensi dasar dari modal sosial yang dimiliki masyarakat nelayan. Potensi seni tradisi dan potensi pantai inilah yang perlu diunggulkan.
Karena modal sosial terbesar masyarakat nelayan adalah kesadaran kolektif, maka masyarakat perlu diingatkan bahwa investasi sosial yang paling berharga bukan alat-alat bermain ala pabrikan dan makanan siap saji. Investasi padat modal harus dipandang masuk dalam strata kedua, setelah modal sosial yang menjadi utama. Dengan memposisikan strata modal sosial yang paling istimewa, maka monopoli kesejahteraan atas eksploitasi pesona pantai dan tradisi tidak terjadi, atau minimal dapat dikendalikan.
Terlepas dari kesadaran kolektif yang terbangun atas dasar modal sosial di atas, masyarakat nelayan juga perlu instropeksi diri, bahwa cara mendistribusikan kesejahteraan tidak boleh lewah. Pentas sedekah laut sudah saat nya dikaji, agar pesona tradisi ini tidak menjerat kesejahteraan mereka saat ini dan dikemudian nanti.
Begitupun dalam tradisi “Nyumbang”. Tradisi yang satu ini juga menjadi daya tarik sendiri dalam memintal modal sosial masyarakat nelayan. Tradisi nyumbang yang diekspresikan dengan cara menyumbang saat anggota keluarga dan tetangga dekat melangsungkan hajatan pernikahan. Hal menarik yang terkandung dalam tradisi ini adalah adanya kesadaran kolektif dalam meringankan beban saat hajatan berlangsung. Sehubungan dengan rencana mewujudkan kawasan wisata bahari, tentu tradisi saling meringankan beban ini dapat dijadikan sebagai modal sosial itu sendiri. Mengapa demikian? Iya, karena dalam mewujudkan kawasan wisata bahari, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. 
Dengan demikian, tradisi “Nyumbang” dapat dijadikan pintu masuk dalam hal mendorong terwujudnya kesadaran kemandirian[x] modal dan investasi berbasis partisipasi. Tradisi “Nyumbang” juga memiliki daya tarik dalam prinsip investasi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa tradisi “Nyumbang” memimiliki  prinsip kepastian dan kontrol sosial yang kuat saat tradisi ini diakuisisi dalam penggalangan dana untuk modal wisata bahari. Lantas bagaimana caranya?
Dalam memfungsikan dana partisipasi berbasis tradisi ini, dapat digunakan untuk penyediaan beragam fasilitas utama dan penopang wisata bahari. Fasilitas utama kawasan wisata bahari meliputi hal ihwal yang berhubungan dengan peralatan pesona tradisi dan peralatan pesona pantai. Dengan demikian, jika model ini dapat dijadikan pintu masuk dalam pengadaan modal untuk invetasi dalam mendorong terwujudnya kawasan wisata bahari, maka masyarakat akan mandiri, bukan tergantung dan dikendalikan oleh investasi dari luar, yang acapkali menghalangi mimpi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Demikian strategi menggunakan modal sosial dalam wujud ikatan solidaritas masyarakat nelayan menuju kawasan wisata bahari. Tentu dalam pelaksanaannya, strategi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Beragam tantangan dan hambatan tentu telah berderet menanti. Tetapi jika daya dan upaya kita lakukan dengan sabar, maka modal sosial yang dimiliki masyarakat nelayan ini,  dapat mewujudkan kawasan wisata bahari.
Salam bahari, salam lestari.
* Penulis adalah Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan
[i] WBD, (dalamhttp://wisatabaharidasun.com/), (Dasun Lasem, 2017)
[ii] Badaruddin, Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan”, dalam M. Arief Nasution, Badaruddin, Subhilhar, (Editor). 2005. Isu-isu Kelautan : Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).
[iii] Goerge Ritzer, Teori Sosiologi (dari Terori Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), hal. 93
[iv] Goerge Ritzer, Teori Sosiologi (dari Terori Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), hal. 91
[v] Franseska Dian Ratri, 2014, (Pergeseran dan Pemaknaan Tradisi Nyumbang Dalam Pernikahan (Studi Tentang Pergeseran Makna Tradisi Nyumbang di Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta), hal. xv
[vi] Slamet Suberkti dan Sri Indah, Upacara Tradisi Sedekah laut Sebagai Media Membangun Solidaritas Sosial: Kasus Pada Masyarakat Nelayan Juwana Pati, (Lembaga Penelitian, UNDIP, 2016), hal. 03
[vii] Goerge Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2011), Hal. 22
[viii] Heritage Tourism of Dasun Ramp River. 2017 (dalam https://www.youtube.com/watch?v=Vc4CDJXRfq).vvvvvvv
[ix] Geertz, Clifford, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Hal.
[x] I.B Irawan, Teori-Teori dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), hal. 18

Aku Rindu Guruku yang Apa Adanya


Entah sudah berapa lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman.
Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya. Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta.
Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku. Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari situlah, kami termotivasi untuk membaca buku.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk menulis.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran,  mengumpulkan kebenaran, dan mengabarkan kebenaran.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.